Archive for the ‘sejarah’ Category

Bohey Dulang

Maret 22, 2021

Bohey Dulang,
Segala lelah akan sirna di sini,
Dibawa ombak yang menderu-deru,
Segala peluh yang menitis akan kering,
Disapu angin laut yang bertiup dingin,

Warna-warna kanvas pada laut,
Hijau pepohon di pulau-pulau yang berselerak,
Putih awan yang bertompok-tompok,
Bikin jiwa ingin terbang menjadi camar,
Menyapa tiap pulau dan kawanan ikan,
Bertanya apa mereka damai di sana?
Sedang manusia,
Sentiasa bergulat, berperang,
Tuk terus hidup di hari akan datang.

Pada pepasir yang telah diinjak,
Pada dedenai yang telah dilalui,
Dititipkan cebis-cebis memori,
Nanti – moga ada takdir,
Akan datang tuk memungut kembali.

M. R. Utoh
(Paya Redan, Merlimau – 21/3/21)

Bohey Dulang – gambar dari internet

Abdullah Tahmin

September 18, 2020

Masih ingatkah kau pada malam yang panjang,
Setelah lama pertemanan,
Kita berbicara tentang jalan dan perjuangan,
“Inilah jalannya”!
“Jalan lurus lagi mulus tak berliku”
Dan kau menjawabkan padaku,
“Ya, itulah laluannya”!
“Yang pernah dikhabarkan,
“Masa dahulu di desaku”
Dan ku sodorkan padamu selonggok buku,
Kau mendakapnya,
Bunga-bunga pun mekar di hati kita,
Rasa bahagia.

Tanpa menoleh,
Kita kibarkan panji suara hati,
Bergandingan menebas kabut dan rerumputan,
Kerna kita anak muda yang punya darah bergelora,
Namun sampai masanya kita harus berpisah,
Saat kita harus memilih dua landasan,
Aku mengambil sikap menjauh,
Kerna jalan itu yang terbaik untuk kita berdua,
Kitapun berpamitan dengan senyuman,
Sedar-sedar engkau sudah menemui Tuhan.

Janggutmu,
Senyummu,
Mishlahmu,
Dan sepedamu,
Akan selalu dalam ingatanku.

Ya Ghafur,
Ampunilah dia,
Ya Waduud,
Cintailah dia,
Ya Rahim,
Masukkanlah dia ke syurga,
Ya Mujiib,
Kumpulkan aku bersamanya.

Moga kita akan berteman lagi nanti,
Bersama sahabat kita yang pergi dahulu,
Kerna kalian berdua adalah sahabat yang paling lama.

M. R. Utoh


Min: 2000 – 2020

Musang Berjanggut

Agustus 12, 2020

Tika ngaji ku di Jordan, tak pingin Ku ketemu Albani;
Saat Sabatikalku di London, ghairah daku mendatangi Rabai Yahudi.

Badut

Agustus 4, 2020

Al Kitab itu memang ada
Ar Rasul itu nyata pernah hidup
Lantas kenapa kita masih keliru?
Yang berjubah itu siapa?
Yang semutarnya tinggi itu apa gelarannya?
Yang berkhutbah di atas mimbar itu apa kerjanya?
Mereka Badut-Badut Agama!

M. R. Utoh
2006

Awan

Juli 29, 2020

Imbah peradilan tidak merindukan kebenaran,
Tiga kali nama-Mu pun bergema di kamar,
Moga akan hancur pembuat makar,
Seperti tiga kali zikir tika penyerbuan,
Meranapkan tembok Kostantinopel yang diagungkan.

Andai dia berdusta maka Tuhan akan menghukumnya,
Namun jika dia benar pasti Tuhan akan menghulurkan tangan,
Sungguh doa orang teraniaya akan menembus awan,
Naik ke langit tanpa terhadang.

Demi keperkasaan dan keagungan-Mu,
Engkau pasti akan menolong dia,
Walau setelah beberapa waktu yang cukup lama.

Kau – negarawan yang jarang didapatkan,
Aku – kan mengenangmu selalu.

———————–
M. R. Utoh
Shah Alam – pagi yang dingin seusai hujan
29/7/2020

Kelmarin

Juli 29, 2020

Kelmarin cukup panjang dengan langit mendung suram,
Moga cepat-cepatlah turun hujan,
Tanda dari Tuhan.

M. R. Utoh
Subang Jaya
29/Julai/2020

Sangkaan Dan Kenyataan

Juni 6, 2020

Mereka mendirikan Babil,
Kerna gentarkan banjir,
Atapnya menggapai awan.

Ketika Tuhan didusta,
Rasul dicerca,
Ajaran Kudus diubah,
Akhirnya mereka binasa,
Bukan ulah air dan bah,
Tetapi batu dan tanah,
Tika Babil rebah.

[M. R. Utoh]
Tmn Desa, KL
1 Ramadhan 1437H / 6 Jun 2016

Puisi Antara Hamka dan M. Natsi

September 24, 2019

Setelah Hamka mendengar pidato Pak Natsir yang menyarankan agar menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia maka Hamka menulis sebuah puisi untuk Pak Natsir:

Kepada Saudaraku M. Natsir

Di pertengahan 1950an itu…

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaummu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…!

[Hamka, 13 November 1957]

Kemudian dijawab dengan sebuah tajuk berjodol Daftar setelah 2 tahun:

DAFTAR

Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengaf lagi
Lama

Kadang-kadang,
di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam
“Daftar”,
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbak silih-berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur

Pancangkan!
Pancangkan olehmu, wahai Bilal!
Pancangkan pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Wahai karihal kafirun..
Berjuta kawan sepaham bersiap masuk
Ke dalam “Daftarmu”…

Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959

Musim Semi

Juni 17, 2019

Dingin datang seiring salju yang berjatuhan,
Membekukan kali, melenyap warna hijau di bumi,
Rontok kehidupan, sakit dirasakan,
Tak tertahan hidup ini,
Banyak yang mati,
Gelandangan bergelimpangan kaku di tepi bangunan,
Putih alam hanya indah pada pandangan mata,
Tapi peritnya membelit jiwa dan raga,
Setiap nafaspun berdoa:
“Oh andai cepatlah musim panas menjelma”
Kau hanya suka seketika bermain salju dihalaman,
Seminit dua terus kau akan bersandar pada Tuhan.

Tiba-tiba ada suara keras berteriak dari kejauhan,
Dari corong mimbar kuat kedengaran:
“Nasib hamba itu ditangan mereka sendiri,
Jangan sekadar munajat pada Ilahi!
Musim panas hanya datang setelah musim semi,
Sehingga bila harus kedinginan?
Sampai nyawa dijemput Tuhan?
Ayuh kita bergandingan mencairkan salju yang membeku,
Pasti Tuhan memberi restu,
Dan kala itu kau akan lihat banyak bunga pun mekar,
Harum menyebar”.

Lalu banyaklah yang menderu di jalanan,
Madah ulama jadi azimat di tangan,
Bekal dalam menghunjam kezaliman.

Salamiyah, sudah enam tahun berlalu,
Segumpal salju pun belum larut,
Namun alam makin kalut,
Salam yang dicita tak kunjung tiba,
Tak terlihat sekuntum mawar pun di Halab,
Cahaya surya makin gelap,
Yang ada hanyalah salju tebal,
Dihembus dari nafas nar,
Kerana kalian adalah umat yang tidak sabar,
Lupa pesan Nabi pada Sahabat yang diredhai.

Dan suara yang bergema itu pun senyap,
Hingga kini sunyi sepi,
Tak terlafaz sebuah bunyi,
Kalian pun sadar,
Dia hanya mengintai dari kejauhan,
Pinggir istana raja dia berdiam,
Dikelilingi oleh ajudan,
Kesenangan sudah lama ditangan.

Sedang kalian berlindung di reruntuhan,
Di setiap celah hanya merah dari darah,
Inilah musim bunga yang didamba,
Terburu-buru ketika belum sampai waktunya!

M. R. Utoh
[Kuala Lumpur, 17 Jun 2017]

100 Kalimat

Mei 7, 2019

 

Zhu Yuan Zhang, Maharaja Pertama Dinasti Ming menulis sebuah puisi untuk Nabi Muhammad:

Sejak terciptanya jagatraya ini,
Tuhan telah mengangkat seorang insan,
Satu manusia berakhlak lagi beriman,
Dari Barat dia dilahirkan,
Baginda mendapat firman agung,
Kitab yang mengandung 30 surat,
Untuk menunjuk semua umat.

Penghulu kepada semua raja,
Pemimpin yang suci,
Dengan petunjuk dari kolong langit,
Untuk melindung dunianya,
Bersama dengan lima waktu solat.

Dalam diam mengharap rahmat,
Hatinya lurus menuju Allah,
Mengangkat darjat si miskin,
Menyelamatkan mereka dari derita,
Melihat dari balik zulmat,
Melalui hadirnya jiwa dan ruh,
Ma’sum dari salah silap.

Rahmat kepada sekalian alam,
Menyelusuri rahsia yang silam,
Memadam segala kejahatan,
Agamanya Suci lagi Benar.

Muhammad,

Yang dihormati lagi terhebat.

[Alih bahasa ke dalam Bahasa Melayu oleh M. R. Utoh dengan beberapa perubahan kalimat agar puisi tersebut menjadi indah dalam bahasa Melayu. Terjemahan dari The One-Hundred Word Eulogy]