Dingin datang seiring salju yang berjatuhan,
Membekukan kali, melenyap warna hijau di bumi,
Rontok kehidupan, sakit dirasakan,
Tak tertahan hidup ini,
Banyak yang mati,
Gelandangan bergelimpangan kaku di tepi bangunan,
Putih alam hanya indah pada pandangan mata,
Tapi peritnya membelit jiwa dan raga,
Setiap nafaspun berdoa:
“Oh andai cepatlah musim panas menjelma”
Kau hanya suka seketika bermain salju dihalaman,
Seminit dua terus kau akan bersandar pada Tuhan.
Tiba-tiba ada suara keras berteriak dari kejauhan,
Dari corong mimbar kuat kedengaran:
“Nasib hamba itu ditangan mereka sendiri,
Jangan sekadar munajat pada Ilahi!
Musim panas hanya datang setelah musim semi,
Sehingga bila harus kedinginan?
Sampai nyawa dijemput Tuhan?
Ayuh kita bergandingan mencairkan salju yang membeku,
Pasti Tuhan memberi restu,
Dan kala itu kau akan lihat banyak bunga pun mekar,
Harum menyebar”.
Lalu banyaklah yang menderu di jalanan,
Madah ulama jadi azimat di tangan,
Bekal dalam menghunjam kezaliman.
Salamiyah, sudah enam tahun berlalu,
Segumpal salju pun belum larut,
Namun alam makin kalut,
Salam yang dicita tak kunjung tiba,
Tak terlihat sekuntum mawar pun di Halab,
Cahaya surya makin gelap,
Yang ada hanyalah salju tebal,
Dihembus dari nafas nar,
Kerana kalian adalah umat yang tidak sabar,
Lupa pesan Nabi pada Sahabat yang diredhai.
Dan suara yang bergema itu pun senyap,
Hingga kini sunyi sepi,
Tak terlafaz sebuah bunyi,
Kalian pun sadar,
Dia hanya mengintai dari kejauhan,
Pinggir istana raja dia berdiam,
Dikelilingi oleh ajudan,
Kesenangan sudah lama ditangan.
Sedang kalian berlindung di reruntuhan,
Di setiap celah hanya merah dari darah,
Inilah musim bunga yang didamba,
Terburu-buru ketika belum sampai waktunya!
M. R. Utoh
[Kuala Lumpur, 17 Jun 2017]